“Super-Earth” dan Nasib Bumi-Manusia

fwd from KOMPAS, Rabu, 02 Mei 2007

“Kehidupan di Bumi semakin berada dalam risiko untuk disapu oleh bencana, seperti pemanasan global mendadak, perang nuklir, virus hasil rekayasa genetika, dan bahaya lain.”

(Fisikawan Stephen Hawking, sekembali dari penerbangan gravitasi nol, 26 April 2007)

Apa yang menjadi kerisauan ahli fisika kenamaan Inggris itu sebenarnya juga telah cukup lama menjadi kerisauan banyak orang. Bagaimana cara untuk menyelamatkan ras manusia kalau Bumi sudah tak bisa dihuni lagi? Seperti juga telah disinggung oleh Hawking, yang dikenal luas di dunia karena penelitiannya di bidang “lubang hitam” dan bukunya yang laris, A Brief History of Time, pemanasan global bisa menjadi pemicu yang membuat Bumi tak bisa lagi dihuni.

Penyebab lain bisa jadi karena Bumi sudah tak sanggup lagi menopang kehidupan karena jumlah manusia jadi terlalu banyak dan tak tersedia teknologi dan lahan lagi untuk menumbuhkan tanaman pangan yang dibutuhkan manusia. Atau, lingkungan hidup sudah rusak terlalu parah akibat polusi sehingga—misalnya saja—tak ada lagi persediaan air bersih yang mencukupi untuk menopang kehidupan. Hawking—dengan kondisi fisik yang terbatas—pekan silam terbang dengan jet khusus yang memungkinkannya merasakan kondisi tanpa gaya berat atau gravitasi nol.

Pertama, ia—sebagai empu ilmu tentang gravitasi—ingin merasakan efek ketiadaan gravitasi. Kedua, ia pro terhadap koloni angkasa, dengan latar belakang seperti yang ia kemukakan di atas bahwa pada satu titik nanti Bumi tidak sanggup lagi menopang kehidupan. Bumi lain Dalam konteks koloni angkasa, pikiran praktis mungkin membawa ingatan manusia pada Bulan, atau planet Mars, sejauh yang terpikir adalah lingkungan Tata Surya.

Pada lingkungan ini jelas Merkurius yang paling dekat dengan Matahari mustahil diperhitungkan karena suhu demikian panas pada siang hari (350 derajat Celsius) dan amat dingin pada malam hari (minus 170 derajat Celsius). Demikian pula Venus yang diselimuti awan karbon dioksida. Planet jauh seperti Jupiter dan Saturnus dingin dan dipenuhi metana. Bahkan, untuk bisa tinggal di Bulan dan Mars, manusia harus bisa lebih dulu menciptakan lingkungan yang “bisa ditinggali” seperti halnya Bumi, khususnya dalam hal penyediaan udara untuk bernapas dan bahan pangan untuk kelangsungan hidup. Ini tentu perlu investasi besar. Jadi paling masuk akal tentu koloni ke planet lain yang kondisinya sama atau sangat mirip dengan Bumi.

Hanya saja, kalaupun ada, planet semacam ini pasti di luar Tata Surya (ekstra-solar) , yang jaraknya pasti masih di luar jangkauan teknologi manusia yang ada sekarang ini. “Super-Earth” Di antara miliaran bintang yang ada, kebolehjadian menemukan planet seperti Bumi jelas ada, dan salah satunya memang telah ditemukan, yakni planet yang mengelilingi bintang redup Gliese 581, yang terletak pada jarak 20,5 tahun cahaya dari Bumi, dan berada pada Rasi Libra. (Catatan: Jarak Bumi-Gliese 581 adalah setara dengan 20,5 x 9.500.000.000. 000 kilometer)

Seperti kita baca beritanya di harian ini pekan silam, penemuan dilakukan dengan teleskop European Southern Observatory (ESO) bergaris tengah 3,6 meter yang ada di Gurun Atacama, Cile. Salah satu yang menjadi landasan bagi para astronom penemu untuk mengatakan planet tersebut serupa dengan Bumi adalah kemungkinan adanya air yang mengalir di permukaannya. Ini bisa terjadi karena suhu planet tersebut sedang, artinya tidak seekstrem Merkurius.

Stephane Udry dari Observatorium Geneva yang mengepalai penulisan laporan penemuan ini di jurnal Astronomy & Astrophysics terbitan mendatang menyebutkan, suhu rata-rata planet ini antara 0 derajat dan 40 derajat Celsius, jadi memungkinkan adanya air dalam wujud cair. Dengan adanya air dalam bentuk cair, ada pula kemungkinan terdapat kehidupan di planet yang oleh para astronom lalu disebut “Super-Earth” ini.

Lebih jauh lagi disebutkan bahwa radius planet hanya 1,5 kali radius Bumi, dan model yang dibuat memperlihatkan planet ini merupakan planet batuan—seperti halnya Bumi—atau tertutup oleh lautan. Karena sifat khasnya ini, planet Bumi Super diyakini akan jadi fokus penyelidikan misi antariksa mendatang, kata Xavier Delfosse, anggota tim penemu dari Universitas Grenobles. Misi yang dimaksud Delfosse terutama yang bertujuan untuk mencari kehidupan ekstraterestrial (di luar Bumi). Dengan teleskop yang akan dipangkalkan di ruang angkasa nanti akan coba dilacak apakah ada jejak atau “tanda tangan” yang bisa diasosiasikan dengan proses biologi.

Seperti dilaporkan BBC News (25/4/2007), observatorium akan coba melacak ada tidaknya gas atmosfer seperti metana, bahkan mungkin juga marka khlorofil, pigmen dalam tanaman Bumi yang memainkan peranan penting dalam fotosintesa. Peranan astronomi Dalam kaitan penemuan planet yang kemudian diberi kode Gliese 581 C ini, orang bisa mengagumi teknik yang diterapkan para astronom untuk menemukan obyek sekecil ini di langit yang jauh, bahkan sampai tahu, bahwa planet ini mengorbit bintang induknya hanya dalam tempo 13 hari.

Artinya, satu tahun di Gliese 581 C hanya berlangsung 13 hari. Planet tetap bisa dalam kondisi “memungkinkan untuk kehidupan”—atau dalam istilah lain tetap masuk dalam “Zona Goldilocks”—karena meski jaraknya ke Bintang hanya 1/14 jarak Bumi-Matahari (sekitar 18 juta kilometer), ia tetap tidak kepanasan. Ini karena bintang induknya redup, tidak sepanas Matahari yang suhu permukaannya hampir 6.000 derajat Celsius.

“Super-Earth” telah menimbulkan gairah baru dalam pencarian planet dan kehidupan ekstraterestrial karena ia memang berbeda dengan 200 eksoplanet yang sejauh ini telah ditemukan. Kalau memang kehidupan ekstraterestrial bisa dikonfirmasikan, manusia Bumi jelas semakin punya harapan untuk melestarikan rasnya tanpa harus mengembangkan lingkungan seperti halnya kalau ingin hidup di Bulan atau Mars. Bisa juga kehidupan ekstraterestrial di Gliese 581 C atau di planet lain jauh lebih canggih. Kalau hal ini yang terjadi, siapa tahu manusia Bumi bisa mengirim sinyal SOS ke penghuni di sana, dan dengan teknologi transportasi angkasa yang lebih maju, mereka bisa mengirim bantuan ke Bumi dengan lebih cepat.

Urusan pindah ke luar Bumi, di luar ada tidaknya habitat alternatif, erat terkait dengan wahana yang tersedia. Kini dengan hanya mampu membuat pesawat antariksa yang berkecepatan sekitar 100.000 kilometer per jam, bisa dihitung berapa lama wahana buatan manusia ini akan tiba di planet Gliese 581 C. Koloni angkasa tak diragukan lagi akan terus menjadi impian manusia yang tak akan pernah padam. Dengan segala permasalahan rutin kebumian yang melilit umat manusia sekarang ini, “langkah persiapan” untuk menuju ke sana telah dilakukan oleh bangsa maju, seperti berlatih tinggal lama di ruang angkasa, yang mengekspos mereka pada keadaan tanpa gaya berat, seperti yang dialami Hawking selama 8 x 25 detik.

Namun, semua itu hanya akan ada artinya jika umat manusia pertama-tama lolos dulu dari ancaman serius yang kini tengah mengepungnya, yang juga telah disinggung Hawking, apakah itu pemanasan global atau perang nuklir. Kalau umat manusia tak lolos dari ancaman ini, akan sia-sialah rencana pindah habitat, meski penemuan Gliese 581 C memberi peluang bahwa tempat tinggal seperti Bumi ada di Semesta, walaupun sungguh nun jauh di langit sana.